Udah lama banget mungkin tidak menulis. Ya, taulah kenapa...
Sejak jadi Ibu punya waktu sedikit buat me time aja udah bersyukur. Boro-boro nulis blog, pasti lebih mengutamakan nonton netflix karena gak mau rugi udah langganan tiap bulan tapi gak dipake. Bukan berarti tidak senang jadi Ibu ya, hanya saja semua Ibu baru pasti, P-A-S-T-I tidak terpikirkan bahwa ia akan kehilangan hampir seluruh waktunya hanya untuk mengurusi si kecil. Hampir seluruh dunia nya tergantikan dengan dunia baru: dunia bayi. Apalagi tipe orang yang "yaelah ngurus diri sendiri aja susah apalagi ngurusin orang" pasti akan kaget.
Makanya, baby blues itu nyata lho. Semua orang pasti mengalami baby blues, mau yang "ngurus sendiri jauh di tanah rantau" atau yang "banyak bala bantuan jadi tinggal kipas2 aja". Begitu anak brojol, gelar kita jadi emak-emak...siap-siap aja tidur tidak tenang. Kalo misal menyewa jasa baby sitter yang 24 jam tidur sebelah bayinya pun minimal seorang ibu tidak bisa tidur karena denger komentar orang-orang yang "ih kok gini ya..." dalam menanggapi motherhood kita.
Anyway, gue gak akan cerita tentang bagaimana gue lahiran atau bagaimana the love of my life, Akemi, bisa tumbuh besar hingga sebentar lagi berusia genap 1 tahun.
Anggap saja lah semua cerita melahirkan dan membesarkan anak itu sama: SAMA-SAMA BERJUANG.
Mungkin suatu hari gue akan cerita perjuangan-perjuangan tsb yang sebenarnya tidak spesial karena semua orang mengalami hal yang sama tapi tetap merasa hebat karena bisa melewati perjuangan tersebut.
Ya setidaknya disela-sela keinsecure-an terhadap diri sendiri; bentuk tubuh yang tidak seperti dulu, susah nya menemukan waktu luang untuk diri sendiri, tanggung jawab terhadap nyawa orang lain yang tidak ada habis-habisnya, belum lagi kena momshaming dari netizen; ada suatu kepercayaan diri yang tinggi: Saya berhasil melewati perjuangan ini. Saya bangga. Kalian semua belum tentu bisa. HA HA HA (ketawa setan).
***
Jadi begitulah, sisters. Kalau kalian berpikiran menikah dan punya anak adalah jalan keluar dari permasalahan quarter life crisis kalian, mungkin kalian terlalu banyak nonton drama-bucin-korea.
Jadi begitulah, sisters. Kalau kalian berpikiran menikah dan punya anak adalah jalan keluar dari permasalahan quarter life crisis kalian, mungkin kalian terlalu banyak nonton drama-bucin-korea.
Adat ketimuran kita memang membentuk mindset masyarakat terhadap perempuan dewasa muda seharusnya menikah, punya anak, melayani suami, karir adalah nomer sekian, harus bisa menjadi ibu yang terbaik.
Padahal itu semua pilihan lho. Yang menjalani hidup kita kan kita sendiri. Emang orang-orang yang nyuruh kawin, punya anak, berhenti kerja itu mau menanggung hidup kita nantinya?
Menikah, punya anak, seharusnya ketika siap secara fisik, mental, dan finansial.
Fisik dan mental bisa dilatih. Kalau finansial? Apa masih ada yang berpikiran "nanti sendirinya juga ada rejeki". Ya mungkin ada, tapi apakah rejeki itu dapat terukur? Kalau amit-amit anak kita dalam keadaan urgent membutuhkan biaya banyak secara mendesak, apakah tiba-tiba rejeki tersebut turun dari langit?
Fisik dan mental bisa dilatih. Kalau finansial? Apa masih ada yang berpikiran "nanti sendirinya juga ada rejeki". Ya mungkin ada, tapi apakah rejeki itu dapat terukur? Kalau amit-amit anak kita dalam keadaan urgent membutuhkan biaya banyak secara mendesak, apakah tiba-tiba rejeki tersebut turun dari langit?
Palingan pinjam uang, hutang, atau hidup dengan ekonomi pas-pasan tapi jiwa tetap sosialita.
Gue masih inget percakapan 2 rekan kantor gue. Satunya seorang ayah beranak 8 sebut saja Anton, satunya seorang ayah beranak 1 sebut saja Andi. Anton memiliki jabatan lebih tinggi daripada Andi, tapi saya dengar Anton suka meminjam uang kepada Andi dengan dalih "Anak gue kan banyak, lo kan cuma 1 pasti lo lebih kaya". Saya pun mendengar Andi curcol kepada yang lainnya "Anton sering pinjam gak dibalikin jadi mending gue kasih dikit tapi gue ikhlasin".
Ironis bukan?
Sekarang, pertanyaannya...Anton punya 8 anak memang kemauan nya Andi? Mengapa harus Andi yang kerepotan membiayai keluarga Anton?
Motto "banyak anak banyak rejeki" menurut gue terlalu egois untuk orang tua. Jelas-jelas orang tua yang memiliki banyak anak akan mengeluarkan uang lebih banyak. Tapi mengapa lebih banyak rejeki? Karena mereka membesarkan Generasi Sandwich, yang berharap suatu hari nanti anak mereka akan sukses dan uang nya akan balik lagi ke mereka. Padahal anak yang dibesarkan nanti juga butuh uang untuk hidup mereka, untuk mewujudkan cita-cita mereka...mengapa malah dibebani untuk membiayai orang tua? belum lagi kalau orang tua nya tipe yang banyak pengeluaran.. belum lagi kalau banyak hutang.
Hadeh ribet banget ya. Makanya bikin anak mikir-mikir ya pak, bu.
Menikah juga mikir-mikir ya pak, bu. Orang kebanyakan berfikir menikah itu happy ending, indah, menyenangkan, semua masalah hidup terselesaikan, bisa kabur dari permasalahan orang tua. Padahal menikah adalah gerbang menuju masalah-masalah berikutnya. Bayangkan, 2 isi kepala dijadikan satu.
Eh, maaf bukan hanya 2 kepala tapi 2 keluarga besar.
Eh, maaf bukan hanya 2 kepala tapi 2 keluarga besar.
Gueaja yang sudah pacaran 8 tahun sebelum menikah, saat menikah juga banyak sekali perbedaannya. Apalagi yang baru kenal, lagi anget-anget nya, langsung nikah. Terus tiba-tiba punya anak, hmmm bye bye deh harapan pacaran/mesra-mesraan setelah nikah.
Ya bukan nya nakut-nakutin ya, gue cuma ngasih tau realitanya. Dulu waktu pacaran berantem kebanyakn tentang masalah internal sesama pasangan aja. Setelah nikah, masih banyak hal yang bisa diributin. Masalah gak akan habis, selalu datang bertubi-tubi. Apalagi kalau sudah punya anak. Apalagi kalau ekonomi keluarga belum stabil. Kita semua kan tau yaa, pemicu utama perceraian di Indonesia adalah ekonomi, baru setelah itu perselingkuhan. (Yaiyalah jadi istri kalau ga punya penghasilan, suami nya kaya terus selingkuh dan minta cerai nanti uang nya darimana?)
Nah, gue merupakan wanita yang memiliki prinsip wanita harus berpenghasilan sendiri. Dan gue akuin gue suka kagum sama wanita yang menurunkan egonya untuk resign menjadi ibu rumah tangga (tanpa bekerja) demi suami. Kagum dan khawatir. Karena gue banyak lihat kasus seperti itu, 10-20 tahun kemudian ketika ada masalah rumah tangga si istri hanya nelangsa dalam hati saja karena kekuatan ekonominya ada di suami. Atau paling-paling kembali ke orang tua/keluarga.
Gue salut sih sama womanpreneur kreatif jaman sekarang yang mengurus keluarga di rumah sambil berbisnis tanpa terlihat jualan palugada. Sebagai orang yang cinta dengan multitasking, alangkah menyenangkannya dalam 1 waktu dan 1 tempat semua dapat terurus.
Tapi karena gue tidak dibesarkan dalam lingkungan enterpreneur, jadi gue masih belum tau caranya bagaimana menuju kesitu. Semoga suatu hari nanti bisa ya!
Sekali lagi, gue bukan nakut-nakutin ya. Inilah realitanya. Menikah, punya anak, resign, bukanlah solusi..melainkan pilihan. Pastikan pilihan tersebut kita pilih secara matang, dengan observasi dan perhitungan konsekuensi yang ada. Memang itu semua ibadah, tapi ingatlah selain habluminallah kita juga harus habluminanaas. Percuma menikah, punya anak, resign kalaus sehari-harinya kita tidak bahagia dan menebar aura negatif untuk orang-orang disekitar kita.
Pikirkan lagi baik-baik ya!

Tidak ada komentar:
Posting Komentar