Kalo di Surabaya lain lagi. Disini ngegigs bisa dikategorikan sebagai "hobi". Bahkan ada imbuhan "nge" didepan kata gigs; seakan- akan suatu rutinitas yang biasa dilakukan: Apapun Gigsnya Ya Harus Ditonton Asal Gue Mau Nonton. Begitu.
Padahal... ngapain sih nonton gigs yang genrenya nggak kita suka, gitu? Nggak konsisten banget ya?
Ya beginilah, Surabaya... Orang-orang senang ke mall, teman- teman hobi nongkrong di kampus, ada yang suka nonton pertandingan olahraga, ada yang hobinya nonton film, ada yang suka ngegossip, ada yang suka di rumah aja online seharian, ada yang travelling keluar surabaya (saking bingungnya mau ngapain di Surabaya), dan lainnya.
Saya merupakan satu dari keberadaan orang-orang diatas, disetiap sudut Surabaya. Maksudnya, ya saya pernah melakukan semuanya, namun... tiada yang lebih @^!*&@^!*&#*^ dari ngegis. Terlebih artis / genre yang disuka. Terlebih bersama kerabat yang juga suka. Aih! Seperti magis saja.
Yah namanya juga setiap orang berbeda. Ada yang hobi olahraga, ada yang hobi ke salon, ada yang suka jualan, ada yang suka belajar. Kalau saya...ngegigs, mungkin? Tidak juga. Saya tidak mengatakan bahwa gigs adalah hobi saya, namun magical feeling yang diwakilkan oleh simbol: @^!*&@^!*&#*^ karena ngegigs adalah hal yang paling saya suka. Suka. Sangat suka. Suka sekali.
Tapi, yah sekali lagi, karena dunia yang saya geluti bukan
Yah sekali lagi yah, namanya juga setiap orang berbeda. Kalo situ suka nonton film pasti bakal ngajak penikmat film juga. Situ juga ngga akan ngegossip sama orang yang suka tutup kuping. Apalagi travelling, paling males kan ngajak orang yang manja yang senengnya ngendog di bawah selimut. Dan bayangin jika situ nggak ngajak siapa-siapa... mati gaya nggak sih?
Begitupula dengan ngegigs. Susah banget carinya. Sebagian besar orang menolak kalo diajak ngegigs karena htm mahal. Yaiyalah ada lho yang sampe jutaan. Kalo nggak gitu males. Yaiyalah males banget berdiri berjam-jam nonton gituan, belom tentu enak didenger, ya kan? Dan lain-lain.
Nggak disangka ternyata alasan satu insan bisa menjadi budaya. Ketika satu nggak mau, semua nggak mau, maka nggak ada yang datang. Jika pada nggak datang maka di dalam gigs itu dikit yang datang. Jika dikit yang datang, dan setiap gigs selalu dikit yang datang, alhasil kalo ngegigs ketemunya orang yang itu-itu aja. Padahal nggak kenal, nggak pernah kenalan dan nggak tau namanya. Tapi sampe hafal muka karena setiap ngegigs dia pasti ada. Ato lama-lama bisa kenalan karena selalu ketemu di gigs?
Ya begitulah. Begitulah dinamikanya mencari partner ngegigs, kadang amplitudonya minus kadang plus. Namun hal ini bisa menjadi bagian dari sensasi magis yang terasa dari ngegigs itu sendiri.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar